#trik_pojok { position:fixed;_position:absolute;bottom:0px; left:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }

Entri Populer

Cari Blog Ini

Jumat, 01 April 2011

Banjir dan Tanah Longsor Mengancam : 500 Ribu Hektare Hutan Sumbar Kritis

Oleh : Khalid Saifullah (1)
Latar Belakang
Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah fungsi ekonomis, ekologis, sosial dan budaya. Fungsi ekonomi hutan adalah sebagai sumber makanan, bahan bangunan, tempat tinggal, bahan perdagangan dan manfaat lainnya yang kemudian berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan dalam kawasan. Fungsi ekologis antara lain sebagai penyerap karbondioksida (carbon sequester) dan gas-gas emisi lainnya, menjaga keseimbangan sumber daya air sepanjang musim, menjaga kestabilan iklim mikro yang sesuai untuk berbagai kehidupan hayati, dan juga sebagai penyangga dari ancaman longsor serta menyimpan air.
Fungsi sosial hutan berupa manfaat yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang ada di hutan akan tetapi juga masyarakat di luar kawasan hutan, dan menjadi pengikat antara masyarakat. Disamping itu hutan juga berperan membentuk aneka ragam budaya masyarakat disekitar dan dalam kawasan akibat interaksi manusia dengan alam yang memungkinkan munculnya teknologi tepat guna setempat, pola mata pencaharian, jenis pangan, dan seni. Oleh karena itu kondisi hutan yang baik akan memperkuat daya dukung bagi berbagai proses kehidupan manusia di sekitarnya.
Fungsi strategis kawasan hutan ini tidak hanya merupakan salah satu bagian penting dari penyangga kehidupan, namun juga akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan bangsa secara nasional dan daerah dalam konteks lokal. Ini akan bisa terwujud jika pengelolaan kawasan hutan memang betul-betul berpijak pada tujuan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat banyak dengan memperhatikan fungsi strategisnya.
Permasalahan Lingkungan dan Pengelolaan Kawasan Hutan di Sumatra Barat
Sumatra Barat yang + 60 % wilayah daratannya merupakan daerah yang memiliki kelerengan yang terjal karena merupakan wilayah dengan topografi berbukit-bukit, sehingga memiliki kerentanan yang tinggi terhadap bahaya longsor. Dari + 60 % wilayah yang rentan tersebut lebih dari 90 % merupakan kawasan hutan. Namun kondisi kawasan hutan itu sendiri sekarang sudah mulai memasuki kondisi kritis. Karena semenjak tahun 1970-an sudah dieksploitasi secara masif melalui izin HPH (IUPHHK), dan aktifitas pembalakan liar untuk memenuhi kebutuhan lokal dan memenuhi kebutuhan ekspor dalam bentuk kayu chip.
Meskipun pemerintah daerah Sumatra Barat berharap adanya multi effect dari setiap aktivitas usaha yang ditanamkan oleh investor di wilayahnya. Namun lagi hal ini malah tidak pernah terjadi. Dalam jangka pendek sebagian masyarakat memang merasakan dampak (terlepas adanya kelompok masyarakat yang kehilangan tanah dan kehilangan ekonomi pendukungnya, serta meningkatnya ancaman bahaya banjir dan longsor). Puluhan orang kemudian bisa melakukan kegiatan ekonomi ditempat tersebut. Diantaranya menyalurkan bahan makanan atau kebutuhan lain, dan mendapatkan kesempatan kerja, meski dengan alasan pendidikan, masyarakat hanya menjadi buruh. Dalam jangka pendek, manakala proses eksploitasi tengah berlangsung, desa memperlihatkan denyut kehidupannya.
Namun dalam jangka panjang, ketika konsesi berakhir maka kawasan hutan telah kehilangan kesuburan tanahnya, kawasan hutan kehilangan kemampuan strategisnya sebagai penyangga dan penyimpan cadangan air, masyarakat kehilangan akses terhadap komoditi hutan yang ada sebelum konsesi muncul dan seringkali diakhiri dengan konflik-konflik horizontal, masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan tetap dalam kemiskinan, dan dibanyak tempat hama baru bermunculan ditambah ancaman terhadap bencana banjir dan longsor.
Kondisi ini dapat kita lihat sangat nyata di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang dari tahun 1972 an kawasan hutannya sudah di eksploitasi, tapi sampai hari ini tidak ada dampak yang dirasakan dan terlihat, baik untuk daerah maupun untuk masyarakat di Mentawai. Justru yang sangat nyata terlihat adalah semakin menurunnya daya dukung lingkungan yang berkibat terhadap ancaman bencana yang kemudian tidak hanya bencana ekologis, berupa banjir akan tetapi juga bencana sosial.
Jika kita lihat sejak penetapan Tata Guna Hutan Kawasan (TGHK) tahun 1982 sampai ke luarnya No. 442/Kpts-II/1999 sudah terjadi penurunan luas kawasan hutan mencapai 61,48 persen yakni dari 3,38 juta hektar (ha) menjadi 2,6 juta ha. Luas hutan berkurang 780 hektar. Kawasan hutan tersebut dilepas untuk kebutuhan perkebunan, transmigrasi, relokasi fungsi dan perubahan tata ruang. Kemudain selama tahun 2007 terdapat perubahan kawasan hutan seluas 58.549 ha. Pada tahun 2009 sedang dalam proses usulan penurunan fungsi kawasan hutan seluas 173.287 ha(2). Belum lagi alih fungsi lahan yang terjadi diluar pemantauan dan proses resmi yang dilakukan melalui Dinas dan Kementrian Kehutanan. Belum juga dari aktifitas pembalakan liar untuk pemenuhan kayu lokal yang sampai hari ini tidak jelas sumbernya, karena sampai hari ini semua produksi legal secara administrasi, 100 % dikirim keluar Sumatra Barat, sehingga otomatis kebutuhan lokal secara legal hanya lah melalui SKAU dan SKSKB cap KR yang jumlah sangat kecil dibandingkan tingkat kebutuhan kayu lokal Sumatra Barat.
Lihat saja Kabupaten Pasaman (sekarang Pasaman Barat dan Pasaman), Kab. Kepulauan Mentawai, Kab. Solok Selatan (sebelumnya Kab. Solok), Kab. Pesisir Selatan dari tahun 1970 an sampai tahun 2010 ini kawasan hutannya masih dieksploitasi secara masif dalam perizinan berupa HPH (IUPHHK). Tahun 2010 pemanfaatan hutan dalam bentuk IUPHHK di Sumatra Barat ada 3 perusahaan 1) PT. Andalas Merapi Timber seluas 28.840 ha SK Menhut No. 82/Kpts-II/2000 , PT. Minas Pagai Lumbert 83.330 ha SK Menhut No. 550/Kpts-II/1995, PT. Salaki Summa Sejahtera 48.420 ha 41/Menhut-II/2004. sementara dalam bentuk hutan tanaman industri ada 2 perusahaan yang memegang hutan tanaman yaitu PT. Rimba Swasembada Semesta seluas 6.675 ha SK Menhut 129/Kpts-II/2008, PT. Bukit Raya Mudisa seluas 28.617 ha SK Menhut No. 257/Kpts-II/2000 dan PT. Dhara Silva Lestari seluas 15.357 ha SK Menhut 621/Kpts-II/2009(3), yang 1 M3 pun hasil produksinya bukanlah untuk memenuhi kebutuhan kayu lokal.
Sementara pasca G30S 2009 kebutuhan kayu Sumatra Barat meningkat sangat drastis, dimana untuk kebutuhan rehab rekon 114.797 rumah rusak berat minal membutuhkan sebanyak 803.797 M3 kayu olahan(4). Belum lagi kebutuhan untuk pembangunan perkantoran pemerintah swasta, pembangunan rumah oleh Developer dan fasilitas lainnya.
Ketimpangan antara ketersediaan dengan kebutuhan ini mendorong terjadi aktifitas pembalakan liar. Dimana aktifitas pembalakan liar ini menjadi semakin tinggi intensitas setiap tahun karena meningkatnya kebutuhan kayu dan galian C untuk Pembangunan, ditambah lagi dengan harus memenuhi kebutuhan rehab rekon pasca G30S 2009 dan Gempa Tsunami Mentawai 25 Oktober 2010. Sementara itu tidak lebih dari 10 % kebutuhan kayu di Sumatra Barat yang dapat dipenuhi secara legal. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan, menjadi peluang juga bagi oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan mereka terlibat dalam praktek pembalakan liar.
Penegakkan hukum terhadap pelaku pembalakan liar terutama terhadap aktor utamanya sangat lemah sekali, dimana proses penegakkan hukum hanya bisa dilakukan terhadap sopir truk, ojek yang membawa kayu hasil pembalakan liar, akan tetapi belum bisa menyentuh aktor utama seperti pemodal dan oknum aparat yang terlibat dalam mafia kehutanan ini.
Menjawab kondisi lahan kritis, sudah puluhan tahun dilakukan kegiatan dengan berbagai istilah, seperti Reboisasi, GNRHL/GERHAN dan gerakan menanam mulai dari 1 batang sampai berjuta pohon. Namun sejauh ini tidak ada sumber informasi yang dapat memastikan berapa pohon atau hektar dari gerakan tersebut yang kemudian berhasil menjadi pohon. Penilaian umumnya dilakukan hanya saat berlangsungnya proyek. Hasil penelitian IPB (1998) menyebutkan setelah tahun keempat tidak ada lagi kepedulian akan hidupnya pohon. Sebagian besar lokasi tanaman bahkan telah berubah menjadi tanaman pertanian, perkebunan, maupun perkampungan.
Disamping itu terjadi perubahan status kawasan baik kawasan hutan maupun kawasan pertanian produktif yang tidak hanya berfungsi sebagai kawasan resapan air untuk kepentingan pertambangan, perumahan dan perkantoran, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan fungsi strategis kawasan (terutama sebagai penyangga dan sebagai daerah tangkapan air).
Pada akhirnya perdebatan dan saling menyalahkan satu sama lain memang bukan pilihan terbaik, akan tetapi paling tidak masih ada para pihak yang terlibat dan mau membaca realita secara baik, dan berusaha memperkecil perbedaan interpretasi dari realitas tersebut. Beranjak dari kondisi diatas realita yang terkait dengan pengelolaan lingkungan khususnya kawasan hutan hutan di Sumatra Barat saat ini adalah :
(1) Terjadinya alih fungsi kawasan tanpa memperhatikan dan mempetimbangkan fungsi strategis kawasan secara ekologis;
(2) Paling sedikit ada 551.387 ha lahan kritis(5), akibat dari sistem pengelolaan kawasan hutan yang tidak benar;
(3) Tidak jelasnya pasokan kebutuhan kayu lokal yang kemudian dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mengorganisir aktifitas penebangan liar secara rapi di dalam kawasan hutan yang sampai hari ini belum mampu diselesaikan oleh pemerintah;
(4) Minimnya nilai ekonomi langsung untuk meningkatkan kesejahteraan yang dinikmati masyarakat didalam dan sekitar kawasan hutan;
(5) Selama ini yang lebih mendapatkan keuntungan besar dari model pengelolaan kawasan hutan adalah para pengusaha dalam bentuk IUPHHK / HTI;
(6) Banyak muncul konflik sumberdaya alam hutan antara pemerintah, pengusaha dan kelompok masyarakat adat;
(7) Eksistensi sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang di inisiasi oleh masyarakat (bukan program pemerintah) ” sangat sulit ” untuk diakui oleh pemerintah, karena ada persoalan status lahan yang di klaim milik negara;
(8) Sebagian besar lahan hutan yang diklaim milik negara ternyata belum dapat “diamankan” oleh pemerintah, dan justru menjadi “arena” konflik sosial, politik dan budaya dan ekologis; dan
(9) Meningkatnya bencana ekologis berupa banjir dan longsor pada semua kabupaten kota di Sumatera Barat.
Diperlukan komitmen semua pihak untuk mengatasi permasalahan yang kompleks ini, untuk menyelamatkan Sumatra Barat dari ancaman bencana kedepan, sehingga kita tidak harus selalu belajar setiap terjadinya bencana. Sudah saatnya kita untuk tidak selalu belajar dengan memulai dari sekarang untuk bertindak lebih bijak.

[1] Direktur Eksekutif WALHI Sumatra Barat, Koordinator Lumbung Derma Sumbar, Sekretaris Forum Pengurangan Risiko Bencana Sumbar, Wakil Koordinator MAIL Sumbar
[2] Padang Today dan Dokumen Revisi RTRW Propinsi Sumatra Barat
[3] Laporan Perkembangan Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan Produksi Dirjen Bina Produksi Kehutanan dan Dirjen Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi Kehutanan triwulan II
[4] WALHI Sumbar tahun 2010
[5] Dinas Kehutanan Propinsi Sumatra Barat

Tidak ada komentar: