Terbukti, Mitigasi Kurangi Risiko Bencana
Magnitude itu dipakai sesuai dengan sejarah gempa dan tsunami terbesar di Jepang yang tidak pernah melebihi magnitude tertinggi.
”Tapi yang terjadi Jumat lalu gempa lebih dari magnitude itu. Ini gempa dan tsunami paling besar di Jepang. Karena itu, banyak bangunan yang dibuat untuk memecah energi tsunami tersapu dan dilompati oleh gelombang,” jelas Tetsuya kepada Padang Ekspres usai kuliah umum di Fakultas Teknik Unand tentang persiapan menghadapi tsunami di Jepang, Selasa (15/3).Sebelumnya, Jepang telah mendirikan seawall (dinding laut) setinggi 8 meter di pinggiran pantai.
Namun, nyatanya gelombang laut yang datang justru lebih tinggi hingga mencapai lebih dari 10 meter. Volume air laut yang dibawa pun sangat besar sehingga seawall yang telah dibangun oleh Jepang terlompati oleh gelombang tsunami dan menerjang daratan hingga 25 kilometer.”Tapi kalau pemerintah Jepang tidak melakukan upaya mitigasi bencana sejak awal, barangkali korban yang berjatuhan akan lebih banyak. Mitigasi nyatanya terbukti mampu mengurangi risiko bencana di Jepang,” tegasnya.
Jepang merupakan negara yang mempunyai manajemen bencana tercanggih. Bahkan, Jepang tidak cuma fokus pada mitigasi bencana, tapi juga terhadap pendidikan publik untuk kesiagaan bencana. Masyarakat harus berlatih terus menerus menghadapi bencana. Setiap semester ada pelatihan bencana. Persiapan dan penanggulangan bencana, ditata dengan baik sehingga menjadi bagian dari kebiasaan, budaya dan pengetahuan.Jepang punya early warning system (sistem peringatan dini) yang cukup bagus, bangunan tahan gempa, skala gempa serta aturan masing-masing di tiap wilayah. Contohnya ada wilayah batas 1 dan seterusnya yang menjadi aturan kawasan di mana penduduk tidak diperbolehkan tinggal. Jepang sudah menerapkan mitigasi struktural dengan membangun bangunan pantai sepanjang garis pantai yang rawan bencana tsunami, termasuk di wilayah yang saat ini dihantam bencana tsunami sendai 2011. Misal, pemecah gelombang khusus tsunami lainnya dibangun di Kamaishi dari tahun 1978 – 2008. Kedalaman bangunan ini mencapai -63 meter.
Sebelumnya, Jepang pernah menerapkan pembangunan tanggul pantai tradisional untuk mereduksi kerusakan akibat tsunami. Salah satu tanggul pantai penangkal tsunami tertua dibangun oleh Hamaguchi di Desa Hiro. Tanggul sepanjang 652 m ini dibangun pada tahun 1855-1857 setelah tsunami Ansei-nankeido 1854. Gempa bumi dan tsunami Nankaido pada tahun 1946 membuktikan keefektifan tanggul ini dalam mengurangi dampak kerusakan tsunami, terutama bagi wilayah di belakang tanggul.
Jepang menerapkan sistem pertahanan berlapis seperti yang dibangun di Sendai, yakni pemecah gelombang lepas pantai, dunes, tanggul, dan hutan pantai. Hutan pantai dipercaya dapat mereduksi hantaman tsunami. Namun, karena bencana tsunami Sendai 2011 merupakan yang terbesar selama sejarah Jepang, sistem pertahanan berlapis berhasil dibobol gelombang tsunami. ”Ini ujian berat bagi Jepang dan segala upaya yang telah dilakukan pemerintah. Menurut beberapa sumber, tsunami kali ini memang yang terbesar selama sejarah ingatan bangsa Jepang,” tuturnya.
Sementara itu, ahli konstruksi dari Unand, Masmera mengungkapkan, Jepang telah memberikan anggaran lebih banyak untuk pengadaan teknologi mitigasi bencana dan begitu menekankan pendidikan prabencana khususnya warga di pesisir. Sarana komunikasi beserta teknologi pendukung dipersiapkan sebagus dan secanggih mungkin, meski dalam keadaan darurat. Pemerintah Jepang menyadari teknologi komunikasi canggih mendukung upaya darurat penanganan pascabencana dengan cepat. Berbagai menara dan pemancar komunikasi dipasang di darat, laut (melalui kabel dasar laut), dan udara melalui satelit. Jadi ketika pemancar di darat hancur oleh bencana, yang lain masih bisa dioperasikan.
”Dengan menginvestasikan dana pencegahan, seperti pelatihan warga dan pembelian teknologi modern, akan menekan dana jauh lebih besar bila terjadi bencana. Setidaknya bisa mengurangi kehilangan ribuan nyawa dan harta benda,” jelasnya.
Jalur Evakuasi Lebih Baik
Sementara itu, menurut Koordinator Koalisi Lumbung Derma, Khalid Syaifullah Kota Padang menilai Sumbar belum siap menghadapi bencana. Sebab, informasi dan pengetahuan masyarakat terhadap penanggulangan bencana tersebut masih minim. ”Seharusnya, Padang yang sudah beberapa kali dilanda bencana, dapat menjadikan musibah itu sebagai pelajaran,” ujarnya saat menyajikan materi tentang peta potensi bencana di Sumatera Barat, dalam acara Lokakarya Pengelolaan Informasi untuk Penanggulangan Bencana di Sumatera Barat, yang diselenggarakan LPM Suara Kampus IAIN, Yayasan Airputih, AJI Kota Padang dan Palanta Padang, Senin-Selasa (12-13/03) di Aula Fakultas Dakwah IAIN IB Padang.
Menurut Khalid, ketidaksiapan masyarakat terbukti ketika terjadinya gempa, misalnya gempa September 2009 lalu, masyarakat berlarian ke banda bakali, ada juga yang terjun ke sungai dengan motor, padahal banda bakali adalah jalur tsunami. ”Itu dikarenakan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang bencana,” ujar Khalid yang juga direktur Walhi wilayah Sumbar ini.Khalid juga mengatakan, ketika sudah berada di zona aman, masih ada masyarakat yang menuju ke zona merah, karena ingin menjemput anggota keluarga yang berada di zona merah. Hal tersebut akan menambah ruwet dan macetnya jalur evakuasi. Sehingga terjadi penyumbatan jalan, bahkan banyak juga terjadi kecelakaan di jalan raya pada saat kejadian gempa. ”Mestinya tidak begitu, masyarakat sudah siaga sejak dini. Misalnya dengan kesepakatan sesama anggota keluarga menunjuk satu daerah aman sebagai tempat berkumpul dalam satu titik, jika bencana terjadi dalam situasi kalang-kabut,” ujarnya.
Di daerah rawan bencana, Khalid berharap, Kota Padang lebih memprioritaskan pembangunan jalur dan lokasi evakuasi. Tetapi, masih banyak pembangunan jalur evakuasi yang belum diprioritaskan. Misalnya, jalan raya Tabing, Padang yang jalurnya masih kecil. ”Jalur evakuasi itu mestinya diprioritaskan, sehingga bisa menjamin keselamatan masyarakat. Daripada membangun sekolah dengan heliped yang menelan biaya besar, lebih baik prioritaskan jalur evakuasi,” tegas Khalid.Khalid menambahkan, pengetahuan kebencanaan bisa dimulai melalui kampus-kampus. Mahasiwa bisa dijadikan sebagai agen-agen untuk mentransformasikan kepada masyarakat. Sehingga informasi-informasi bencana bisa sampai dengan cepat.
Dalam acara lokakarya tersebut, Zulkufli dari Yayasan Air Putih mengatakan, kelancaran informasi dan komunikasi amat menentukan efektifnya koordinasi dan penanganan korban. Salah satu kelompok yang mempunyai peran besar dalam aktivitas penanggulangan bencana adalah warga dan jurnalis.”Penanganan bencana butuh pusat informasi terpadu yang bisa menghimpun semua data dan informasi dari berbagai titik lokasi. Selain itu, pusat informasi ini dibutuhkan untuk mengolah berbagai informasi, data, dokumen, temuan dan rekomendasi dari masyarakat, lembaga swasta dan pemerintah, dari dalam dan luar negeri, yang menangani bencana itu,” ujarnya.
Zulkifli menjelaskan, pusat Informasi ini juga bisa berperan sebagai sumber rujukan bagi jurnalis, lembaga dan perorangan yang ingin mengetahui kondisi terakhir di wilayah bencana, serta lembaga pemberi bantuan. Keberadaan pusat informasi yang memiliki data akurat yang dimutakhirkan secara berkala akan memberikan dukungan besar pada efektivitas dan koordinasi penyaluran bantuan.(*)
Magnitude itu dipakai sesuai dengan sejarah gempa dan tsunami terbesar di Jepang yang tidak pernah melebihi magnitude tertinggi.
”Tapi yang terjadi Jumat lalu gempa lebih dari magnitude itu. Ini gempa dan tsunami paling besar di Jepang. Karena itu, banyak bangunan yang dibuat untuk memecah energi tsunami tersapu dan dilompati oleh gelombang,” jelas Tetsuya kepada Padang Ekspres usai kuliah umum di Fakultas Teknik Unand tentang persiapan menghadapi tsunami di Jepang, Selasa (15/3).Sebelumnya, Jepang telah mendirikan seawall (dinding laut) setinggi 8 meter di pinggiran pantai.
Namun, nyatanya gelombang laut yang datang justru lebih tinggi hingga mencapai lebih dari 10 meter. Volume air laut yang dibawa pun sangat besar sehingga seawall yang telah dibangun oleh Jepang terlompati oleh gelombang tsunami dan menerjang daratan hingga 25 kilometer.”Tapi kalau pemerintah Jepang tidak melakukan upaya mitigasi bencana sejak awal, barangkali korban yang berjatuhan akan lebih banyak. Mitigasi nyatanya terbukti mampu mengurangi risiko bencana di Jepang,” tegasnya.
Jepang merupakan negara yang mempunyai manajemen bencana tercanggih. Bahkan, Jepang tidak cuma fokus pada mitigasi bencana, tapi juga terhadap pendidikan publik untuk kesiagaan bencana. Masyarakat harus berlatih terus menerus menghadapi bencana. Setiap semester ada pelatihan bencana. Persiapan dan penanggulangan bencana, ditata dengan baik sehingga menjadi bagian dari kebiasaan, budaya dan pengetahuan.Jepang punya early warning system (sistem peringatan dini) yang cukup bagus, bangunan tahan gempa, skala gempa serta aturan masing-masing di tiap wilayah. Contohnya ada wilayah batas 1 dan seterusnya yang menjadi aturan kawasan di mana penduduk tidak diperbolehkan tinggal. Jepang sudah menerapkan mitigasi struktural dengan membangun bangunan pantai sepanjang garis pantai yang rawan bencana tsunami, termasuk di wilayah yang saat ini dihantam bencana tsunami sendai 2011. Misal, pemecah gelombang khusus tsunami lainnya dibangun di Kamaishi dari tahun 1978 – 2008. Kedalaman bangunan ini mencapai -63 meter.
Sebelumnya, Jepang pernah menerapkan pembangunan tanggul pantai tradisional untuk mereduksi kerusakan akibat tsunami. Salah satu tanggul pantai penangkal tsunami tertua dibangun oleh Hamaguchi di Desa Hiro. Tanggul sepanjang 652 m ini dibangun pada tahun 1855-1857 setelah tsunami Ansei-nankeido 1854. Gempa bumi dan tsunami Nankaido pada tahun 1946 membuktikan keefektifan tanggul ini dalam mengurangi dampak kerusakan tsunami, terutama bagi wilayah di belakang tanggul.
Jepang menerapkan sistem pertahanan berlapis seperti yang dibangun di Sendai, yakni pemecah gelombang lepas pantai, dunes, tanggul, dan hutan pantai. Hutan pantai dipercaya dapat mereduksi hantaman tsunami. Namun, karena bencana tsunami Sendai 2011 merupakan yang terbesar selama sejarah Jepang, sistem pertahanan berlapis berhasil dibobol gelombang tsunami. ”Ini ujian berat bagi Jepang dan segala upaya yang telah dilakukan pemerintah. Menurut beberapa sumber, tsunami kali ini memang yang terbesar selama sejarah ingatan bangsa Jepang,” tuturnya.
Sementara itu, ahli konstruksi dari Unand, Masmera mengungkapkan, Jepang telah memberikan anggaran lebih banyak untuk pengadaan teknologi mitigasi bencana dan begitu menekankan pendidikan prabencana khususnya warga di pesisir. Sarana komunikasi beserta teknologi pendukung dipersiapkan sebagus dan secanggih mungkin, meski dalam keadaan darurat. Pemerintah Jepang menyadari teknologi komunikasi canggih mendukung upaya darurat penanganan pascabencana dengan cepat. Berbagai menara dan pemancar komunikasi dipasang di darat, laut (melalui kabel dasar laut), dan udara melalui satelit. Jadi ketika pemancar di darat hancur oleh bencana, yang lain masih bisa dioperasikan.
”Dengan menginvestasikan dana pencegahan, seperti pelatihan warga dan pembelian teknologi modern, akan menekan dana jauh lebih besar bila terjadi bencana. Setidaknya bisa mengurangi kehilangan ribuan nyawa dan harta benda,” jelasnya.
Jalur Evakuasi Lebih Baik
Sementara itu, menurut Koordinator Koalisi Lumbung Derma, Khalid Syaifullah Kota Padang menilai Sumbar belum siap menghadapi bencana. Sebab, informasi dan pengetahuan masyarakat terhadap penanggulangan bencana tersebut masih minim. ”Seharusnya, Padang yang sudah beberapa kali dilanda bencana, dapat menjadikan musibah itu sebagai pelajaran,” ujarnya saat menyajikan materi tentang peta potensi bencana di Sumatera Barat, dalam acara Lokakarya Pengelolaan Informasi untuk Penanggulangan Bencana di Sumatera Barat, yang diselenggarakan LPM Suara Kampus IAIN, Yayasan Airputih, AJI Kota Padang dan Palanta Padang, Senin-Selasa (12-13/03) di Aula Fakultas Dakwah IAIN IB Padang.
Menurut Khalid, ketidaksiapan masyarakat terbukti ketika terjadinya gempa, misalnya gempa September 2009 lalu, masyarakat berlarian ke banda bakali, ada juga yang terjun ke sungai dengan motor, padahal banda bakali adalah jalur tsunami. ”Itu dikarenakan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang bencana,” ujar Khalid yang juga direktur Walhi wilayah Sumbar ini.Khalid juga mengatakan, ketika sudah berada di zona aman, masih ada masyarakat yang menuju ke zona merah, karena ingin menjemput anggota keluarga yang berada di zona merah. Hal tersebut akan menambah ruwet dan macetnya jalur evakuasi. Sehingga terjadi penyumbatan jalan, bahkan banyak juga terjadi kecelakaan di jalan raya pada saat kejadian gempa. ”Mestinya tidak begitu, masyarakat sudah siaga sejak dini. Misalnya dengan kesepakatan sesama anggota keluarga menunjuk satu daerah aman sebagai tempat berkumpul dalam satu titik, jika bencana terjadi dalam situasi kalang-kabut,” ujarnya.
Di daerah rawan bencana, Khalid berharap, Kota Padang lebih memprioritaskan pembangunan jalur dan lokasi evakuasi. Tetapi, masih banyak pembangunan jalur evakuasi yang belum diprioritaskan. Misalnya, jalan raya Tabing, Padang yang jalurnya masih kecil. ”Jalur evakuasi itu mestinya diprioritaskan, sehingga bisa menjamin keselamatan masyarakat. Daripada membangun sekolah dengan heliped yang menelan biaya besar, lebih baik prioritaskan jalur evakuasi,” tegas Khalid.Khalid menambahkan, pengetahuan kebencanaan bisa dimulai melalui kampus-kampus. Mahasiwa bisa dijadikan sebagai agen-agen untuk mentransformasikan kepada masyarakat. Sehingga informasi-informasi bencana bisa sampai dengan cepat.
Dalam acara lokakarya tersebut, Zulkufli dari Yayasan Air Putih mengatakan, kelancaran informasi dan komunikasi amat menentukan efektifnya koordinasi dan penanganan korban. Salah satu kelompok yang mempunyai peran besar dalam aktivitas penanggulangan bencana adalah warga dan jurnalis.”Penanganan bencana butuh pusat informasi terpadu yang bisa menghimpun semua data dan informasi dari berbagai titik lokasi. Selain itu, pusat informasi ini dibutuhkan untuk mengolah berbagai informasi, data, dokumen, temuan dan rekomendasi dari masyarakat, lembaga swasta dan pemerintah, dari dalam dan luar negeri, yang menangani bencana itu,” ujarnya.
Zulkifli menjelaskan, pusat Informasi ini juga bisa berperan sebagai sumber rujukan bagi jurnalis, lembaga dan perorangan yang ingin mengetahui kondisi terakhir di wilayah bencana, serta lembaga pemberi bantuan. Keberadaan pusat informasi yang memiliki data akurat yang dimutakhirkan secara berkala akan memberikan dukungan besar pada efektivitas dan koordinasi penyaluran bantuan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar