#trik_pojok { position:fixed;_position:absolute;bottom:0px; left:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }

Entri Populer

Cari Blog Ini

Kamis, 25 September 2008

Seremonial Fakta dan Kerusakan

Seremonial dan Fakta Kerusakan Lingkungan

Minggu, 08 Juni 2008
Oleh : Khalid Saifullah, Dir Eksekutif Walhi SumbarSetiap tahun, tanggal 5 Juni diperingati sebagai hari Lingkungan Hidup se dunia. Banyak orang memperingati dengan berbagai kegiatan “yang menurut mereka sebagai kepedulian terhadap lingkungan”. Harusnya kita bersyukur karena beberapa hari menjelang dan beberapa hari setelah tanggal tersebut kita akan membaca, melihat dan mendengar di media, bagaimana pemerintah, perusahaan, organisasi dan kelompok masyarakat bahkan sampai individu mengekspresikan kepedulian terhadap Lingkungan dengan moment hari Lingkungan Hidup.
Pada hari Lingkungan Hidup ini semua mempertunjukkan kalau mereka adalah kelompok-kelompok dan orang-orang yang peduli lingkungan. Coba saja kita lihat Kementrian Lingkungan Hidup, memberikan penghargaan piala Adipura kepada kota-kota yang dianggap berhasil menciptakan kondisi lingkungan yang baik. Perusahaan-perusahaan diberikan dengan peringkat emas, biru, kuning dan hitam.
Tidak ketinggalan kemudian di hari lingkungan hidup yang ditetapkan semenjak tanggal 5 Juni 1972 bertepatan dengan diselenggarakannya konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm tersebut, dilaksanakan kegiatan penanaman. Mulai dari sebatang pohon, sampai sejuta pohon. Ada juga yang kemudian lupa atau memang tidak tahu sama sekali bahwa pola hidup konsumtif mereka selama ini sebenarnya telah berkontribusi merusak lingkungan.
Namun semua itu kemudian seiring dengan bergesernya tanggal dan hari, kemudian orang-orang mulai lupa bahwa kemarin mereka telah menghabiskan dana jutaan rupiah, meluangkan waktu dan tenaga untuk memperingati hari Lingkungan Hidup. Mereka bahkan juga tidak ingat lagi di mana kemarin mereka telah menanam sejuta pohon, apakah pohon yang ditanam sempat hidup atau kemudian justru beberapa hari kemudian pohon yang ditanam tersebut malahan sudah dicabut lagi oleh yang punya lahan.
Faktanya memang setiap tahun selalu dicanangkan gerakan menanam seribu atau sejuta pohon, tapi kemudian tahun berikutnya tidak pernah disebut lagi sejuta pohon yang ditanam tahun lalu, berapa puluh batang yang hidup sampai sekarang. Setiap tahun juga selalu dibuat tema-tema baru dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup, seperti tahun ini “Ubah Perilaku dan Cegah Pencemaran”. Namun kembali itu kemudian hanya tinggal menjadi tulisan di proposal dan media yang kemudian beberapa menjadi kliping untuk anak cucu bahwa setiap tahun sudah diperingati hari Lingkungan Hidup.
Tentu saja gambaran di atas adalah menjadi cerita-cerita yang menyenangkan dapat kita tuliskan, yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan kondisi lingkungan yang kita rasakan saat ini. Semua itu hanya merupakan seremonial belaka, hari lingkungan hidup menjadi moment untuk pencuci dosa bagi para penjahat-penjahat lingkungan, yang kemudian juga ikut memperingati hari lingkungan dengan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan seolah-olah mereka adalah sangat peduli terhadap kondisi lingkungan hidup.
Semua orang seharusnya tidak akan bisa memungkiri bahwa saat ini betapa semakin menurunnya kualitas lingkungan disekitar kita. Rakyat Indonesia pada umumnya dan masyarakat di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur khususnya tidak akan pernah bisa melupakan bagaimana lumpur dari Lapindo menggenangi rumah, menghabisi sumber mata pencaharian, dan rusaknya tatanan kehidupan mereka. Rakyat Aceh dan Bahorok tidak akan pernah bisa melupakan bagaimana longsor dan air bah menghancurkan perkampungan dan mengakibatkan mereka harus kehilangan anak, istri, suami dan orangtua.
Kita rakyat Sumatera Barat semestinya juga tidak bisa melupakan bagaimana Nagari Kambang Kabupaten Pesisir Selatan, Nagari Aie Dingin Kabupaten Solok pada tahun 2007 telah dihantam banjir dan longsor yang telah mengakibatkan hancurnya tempat tinggal, sawah dan ladang serta merengut nyawa keluarga mereka. Semestinya kita juga tidak begitu saja lupa bagaimana masyarakat Jorong Subang-Subang Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam harus rela kehilangan 40 ton lebih ikan akibat pencemaran di sungai yang mengalir di kampung mereka.
Sekali lagi fakta di atas mestinya menjadi refleksi bagi kita, bahwa sudah saatnya kita menghentikan perilaku-perilaku serimonial sesuai dengan tema hari Lingkungan Hidup tahun ini “Ubah Perilaku dan Cegah Pencemaran (“Pengrusakan Lingkungan Hidup”). Kondisi di atas jelas menujukkan semakin menurunnya kualitas lingkungan, yang mana tidak akan bisa dilepaskan dari akibat prilaku manusia yang rakus dan mementingkan diri sendiri. Seperti dikatakan Allah dalam Alquran “Telah lahir bencana di darat dan di laut, karena usaha tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (balasan) perbuatan yang mereka perbuat, mudah-mudahan mereka kembali (taubat).” (QS Ar Ruum : 41)
Untuk memenuhi nafsu serakah sekelompok orang kemudian terjadi pengangkangan dan bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam pasal 15 Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan pasal 7 Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, jelas menyatakan bahwa menjadi kewajiban untuk membuat dokumen Amdal sebagai salah satu syarat untuk layak atau tidak diberikan izin prinsip oleh pejabat yang berwenang terhadap suatu usaha atau kegiatan.
Akan tetapi faktanya 140 lebih usaha/kegiatan baik industri, perkebunan, peternakan, rumah sakit dan hotel yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan hidup ternyata tidak memiliki dokumen Amdal atau UKL/UPL. (Bapedalda Sumbar dan Investigasi Walhi 2007). Ini menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi lebih mendominasi dari pada upaya menciptakan lingkungan yang layak dan sehat bagi masyarakat.
Yang lebih memiriskan kemudian dengan argumentasi-argumentasi ilmiah dan konsep teoritis, perilaku mengangkangi peraturan perundangan ini didukung oleh kebijakan-kebijakan untuk menyelamatkan kepentingan ekonomi tersebut dengan mengabaikan dampak lingkungan yang sudah ditimbulkan seperti lahirnya Peraturan Gubernur No 2 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup bagi Usaha atau Kegiatan yang telah Beroperasi Belum Mempunyai Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup di Provinsi Sumatera Barat. Jelas sekali Peraturan Gubernur ini adalah legitimasi “pemutihan” bagi kegiatan/usaha yang selama ini tidak punya niat baik untuk berupaya menciptakan kondisi lingkungan yang layak dan sehat bagi masyarakat.
Sudah saatnya di hari Lingkungan Hidup ini menjadi momen mengintrospeksi diri, menyadari kekeliruan masa lalu, dan membangun kesadaran kembali bahwa kondisi lingkungan yang kita nikmati saat ini sebenarnya adalah “buah” dari pohon yang kita tanam sebelumnya. Kita harus segera merobah paradigma dalam melihat permasalahan lingkungan hidup, di mana selama ini kita baru sadar bahwa sudah terjadi masalah terhadap lingkungan, ketika sudah ada yang merasakan dampak (berteriak sakit atau meninggal).
Sudah saatnya merobah pola pemanfaatan Lingkungan Hidup yang selama ini lebih mengedepankan aspek ekonomi dengan mengabaikan daya dukung lingkungan dan mengangkangi peraturan perundangan. Sehingga moment hari Lingkungan Hidup tahun ini tidak hanya sekadar mengisi dengan kegiatan seremonial akan tetapi betul-betul menjadi awal (memulai) “Merubah Prilaku dan Mencegah Pengrusakan Lingkungan Hidup”. Semoga di hari Lingkungan Hidup tahun 2009 kita bisa merasakan perubahan kondisi lingkungan hidup ke arah yang lebih baik. ***

Tidak ada komentar: