Finalnya Putusan Pengadilan Negeri Pasaman Barat
(WALHI SB) Senin (24/1) menjadi tanggal yang bersejarah bagi Petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Anak Nagari Rantau Pasaman bahwa mereka menyaksikan ketidakberpihakan Pengadilan Negeri Pasaman Barat yang tidak bisa berlaku adil pada mereka untuk kedua kalinya. Setelah gagal memperjuangkan keadilan dalam pada saat penangkapan yang tidak besertakan Surat Perintah Penangkapan dan sempat diPraperadilan akan tetapi Hakim tetap saja membenarkan perilaku Polisi yang
menangkap para Petani dengan tidak memakai Surat Perintah Penangkapan, walalupun Suhartono seorang Polisi yang bertugas menangkap Petani ini mengaku dihadapan Sidang melakukan penangkapan tidak mengantongi Surat Perintah Penangkapan. Kemudian keadaan ini diperparah lagi bahwa perkara ini layak untuk (di P21 kan ) diserahkan ke Pengadilan Negeri Pasaman Barat. Lengkap sudah penderitaan Yunasril, Erpan dan Bulkhaini selaku Petani yang mencoba mengantungkan hidup ditanah ulayat mereka sendiri. Mereka dianggap Bersalah oleh pengadilan, Hakim yang mengadili perkara ini memenangkan PT. Anam Koto yang jelas-jelas sudah merebut ulayat mereka, sekarang mesti mendekap di Jeruji Besi Rumah Tahanan Cabang Talu Kabupaten Pasaman Barat. Yunasril, Erpan dan Bulkhaini merupakan Petani yang dituduh telah menyerobot lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Anam Koto.
menangkap para Petani dengan tidak memakai Surat Perintah Penangkapan, walalupun Suhartono seorang Polisi yang bertugas menangkap Petani ini mengaku dihadapan Sidang melakukan penangkapan tidak mengantongi Surat Perintah Penangkapan. Kemudian keadaan ini diperparah lagi bahwa perkara ini layak untuk (di P21 kan ) diserahkan ke Pengadilan Negeri Pasaman Barat. Lengkap sudah penderitaan Yunasril, Erpan dan Bulkhaini selaku Petani yang mencoba mengantungkan hidup ditanah ulayat mereka sendiri. Mereka dianggap Bersalah oleh pengadilan, Hakim yang mengadili perkara ini memenangkan PT. Anam Koto yang jelas-jelas sudah merebut ulayat mereka, sekarang mesti mendekap di Jeruji Besi Rumah Tahanan Cabang Talu Kabupaten Pasaman Barat. Yunasril, Erpan dan Bulkhaini merupakan Petani yang dituduh telah menyerobot lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Anam Koto.
PT. Anam Koto sebuah perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha seluas 4.740 hektare untuk usaha perkebunan sawit dan memiliki Hak Guna Bangunan seluas 37,40 hektare yang keluar pada tahun 1999. Mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) pada Tahun 2008 dengan luas 2.285,1 hektare sementara kelebihan Hak Guna Usaha seluas 2.454,9 hektare ditelantarkan berdasarkan hasil Survey Lapangan yang dilakukan Tim yang pimpin oleh Dinas Perkebunan Sawit Pasaman Barat dan hasilnya survey tersebut menyebutkan bahwa lahan Hak Guna Usaha PT. Anam Koto yang dipergunakan sesuai dengan peruntukannya seluas 2.285.1 hektare kemudian kelebihannya seluas 2.454,9 hektare terlantar dan telah diusulkan Bupati Pasaman Barat kepada Badan Pertanahan Nasional untuk direvisi. Kawasan perkebunan PT. Anam Koto berbatasan sebelah Utara dengan PT. Inkut sebelah Selatan berbatas dengan PT. Gresindo Minang Plantation (Wilmar Group) sebelah Barat berbatas dengan PT. Agro dan sebelah Timur berbatas dengan Anak Aie Batang Takua, kemudian kawasan ini dapat diakses dengan jelas melalui Fasilitas Software Google Earth. Secara Posisi kawasan PT. Anam Koto memiliki luas ± 9.756 hektare. 4.978,6 hektare merupakan lahan yang tidak memiliki izin, baik berupa Izin Usaha Perkebunan dan diluar dari Hak Guna Usaha serta Hak Guna Bangunan.
Pada Tahun 1990 Niniak Mamak Aie Gadang dan Niniak Mamak Muaro Kiawai sebagai pemilik ulayat membuat kesepakatan dengan PT. Anam Koto bahwa PT. Anam Koto akan memberikan Plasma sekurang-kurangnya 10% dari lahan yang diserahkan. Hingga saat ini sudah 21 tahun lamanya kesepakatan itu tidak pernah direalisasikan kepada masyarakat. Tahun 2000 kesepakatan itu pernah ditagih oleh masyarakat, akan tetapi mereka dihadapkan dengan gas air mata dan ditembaki dengan membabi buta oleh Kepolisian, sehingga banyak korban berjatuhan. Diperlakukan seperti itu membuat masyarakat ini lemah hingga surut dengan perjuangan mereka, kemudian semangat itu kembali muncul pada tahun 2006 berbentuk kelompok kecil hingga menjadi besar di tahun 2010 yang terangkum dalam satu wadah Kelompok Tani Anak Nagari Rantau Pasaman.
Hadirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan ternyata menjadi senjata ampuh bagi perusahaan perkebunan untuk mendiskriminasikan hak-hak masyarakat adat. Setiap masyarakat yang akan memperjuangkan hak-haknya akan dihadapkan dengan Pasal 47 dalam undang-undang ini. Akibatnya mereka hanya bisa menjadi buruh harian lepas (BHL) ditanah mereka sendiri, yang digaji Rp.100,-/Kg dari hasil TBS perkebunan perusahaan yang berhasil mereka panen, tanpa adanya jaminan kesehatan, asuransi, keselamatan kerja dan lain sebagainya, ironisnya lagi mereka harus membayar denda kepada perusahaan sebesar Rp.5.000,-/Biji apabila pada saat melakukan Panen TBS Buruh tidak memungut dan meninggalkan Brondol (pecahan buah sawit) disekitar batang sawit.
Harus rela menjadi buruh ditanah ulayat sendiri. Buruh Harian Lepas, hanya itu yang bisa diberikan perusahaan kepada masyarakata disekeliling kawasan perkebunan. Walaupun ada yang diberikan dalam bentuk Plasma, akan tetapi semua itu juga menjadi jaminan kemakmuran bagi masyarakata. Kebun Plasma biasaya dikelola oleh Perusahaan, masyarakat hanya menerima hasil berupa uang yang dikirim perusahaan yang berasal dari penjualan TBS Plasma masyarakat. Transparansi pengelolaan tidak pernah diinformasikan kepada masyarakat. Apakah mereka layak menerima uang sebesar Rp.300.000,-/bln bagi mereka yang memiliki kebun plasma seluas 2 hektare, sementara ditempat lain jika memiliki kebun seluas 2 hektare akan menghasilkan TBS ± 4-5 ton/bln yang jika uangkan Rp.4.600.000, jika harga TBS Rp.1.200,-/Kg. Setidaknya 3 hal yang mesti ditanggung bagi masyarakat yang berada disekeliling kawasan perkebunan : 1) masyarakat harus siap untuk menjadi buruh ditanah sendiri karena tidak adanya jaminan kesejahteraan dari perusahaan bagi masyarakat disekeliling kawasan perkebunan, 2) masyarakat harus siap dipenjara, dikriminalisasi apabila mencoba melawan dengan kebijakan perusahaan, 3) masyarakat harus siap berkonflik yang berkepanjangan yang tak pernah terselesaikan oleh pemerintah.
Perkebunan Sawit menjanjikan kenikmatan pada semua orang,
akan tetapi
akibat kenikmatan itu,
pelanggaran HAM dan penghancuran lingkungan terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar