Padang - Sebagian korban tsunami Mentawai di Pulau Pagai dan Sipora membangun sendiri hunian sementara karena hunian sementara yang akan dibangun pemerintah dan Palang Merah Indonesia terlalu jauh dari ladang mereka. Di Pulau Pagai Selatan dan Pagai Utara, korban tsunami di dua dusun membangun rumah sendiri dengan bergotong royong di lokasi pilihan mereka.
Koordinator Lumbung Derma, Khalid Syaifullah, mengatakan sebanyak 34 keluarga korban tsunami di
Dusun Maonai, Desa Bulasat, Pagai Selatan, dan 42 keluarga di Dusun Tumalai, Desa Silabu, Pagai Utara, sedang membangun rumah kayu di lokasi baru yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari kampung mereka yang sudah hancur. Lumbung Derma adalah badan koalisi lembaga swadaya masyarakat di Mentawai dan Padang seperti Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Walhi, dan LBH.
“Mereka menolak tinggal di hunian sementara yang dibangun PMI dan pemerintah karena terlalu jauh, sekitar 8 kilometer, sehingga sulit akses ke ladang mereka. Jadi mereka memilih relokasi di lahan yang dihibahkan warga lain,” kata Khalid Syaifullah yang juga Ketua Walhi Sumatera Barat, Kamis (23/12).
Ia mengatakan warga membangun rumah bergotong royong dengan mengolah kayu dari hutan mereka. Lumbung Derma memberikan bantuan seng, paku, peralatan tukang, dan pinjaman chain saw atau gergaji rantai.
“Menjelang rumah mereka siap kini mereka tinggal di pondok sementara yang sudah dibangun dari bekas material rumah mereka yang rusak. Sedangkan logistik kami yang memasok,” kata Khalid.
Sementara itu di Sipora Selatan, Pulau Sipora, korban tsunami di Desa Bosuia dan Beriulou juga membangun rumahnya kembali dengan mengumpulkan sisa-sisa material rumah yang hancur untuk dijadikan hunian sementara karena tidak tahan lagi tinggal di tenda pengungsian.
“Mereka membangun sendiri hunian sementara dari material bekas dengan atap rumbia, karena tinggal di tenda kalau hujan air masuk dan dingin,” kata tokoh masyarakat Sipora Selatan, Rijel Samaloisa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana akan membangun sebanyak 278 unit hunian sementara untuk keluarga korban tsunami di dua desa di Sipora Selatan, Desa Bosua dan Desa Beriulou.
Namun pembangunan belum bisa dimulai karena para korban menolak lokasi satu tempat yang dipilih Bupati di Kilometer 4-9 di Desa Beriulou karena lokasi tersebut terlalu jauh, sekitar 8 kilometer dari kampung lama dan ladang warga. Apalagi lokasi hunian sementara itu juga diapit sungai dan jurang.
“Sangat jauh dari sumber ekonomi masyarakat, di tempat lama ada ladang kopra untuk dijual, kebun keladi dan pisang... kalau di lokasi baru itu hutan dan tempatnya hanya cukup untuk huntara,” kata Rijel Samaloisa.
Ia mengatakan ada beberapa warga pemilik tanah di Desa Beriulou dan Bosua yang sudah menghibahkan lahan 40 hektare di dua lokasi yang hanya berjarak 2 kilometer dari desa semula, lokasi ini pilihan warga.
“Tetapi Bupati belum menyetujuinya, dengan alasan bila dikumpulkan satu kelompok, warga mudah akan lebih mudah didirikan sekolah, fasilitas kesehatan untuk masyarakat, padahal di tempat yang dihibahkan itu juga bisa dibangun fasilitas pemerintah,” kata Rijel.
Ia mengatakan, di lokasi yang dihibahkan warga itu berada di ketinggian lebih 20 meter, dan bisa menampung tiga ribu warga kedua dusun. Selain itu juga sudah ada jalan dan dekat dengan rencana pelabuhan yang akan dibangun pemerintah.
“Kalau di lokasi KM 9 yang dibuat pemerintah untuk jangka pendek memang tidak masalah, tetapi jangka panjang akan menyulitkan masyarakat karena masyarakat akan jauh dari sumber ekoniminya,” kata Rijel Samaloisa.
Wakil Bupati Mentawai Yudas Sabagalet mengatakan terhambatnya pembangunan hunian sementara di Sipora Selatan memang karena warga tidak menyetujui lokasi yang ditetapkan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar