Padang (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) wilayah Sumatera Barat, menyatakan Sumbar harus diselamatkan dari bencana ekologis, karena kondisi lingkungan Sumbar sekarang sudah sangat jauh terdegradasi dan jauh menurun kemampuan daya dukungnya.
"Bencana ekologis terjadi disebabkan salah urus, salah kebijakan, salah kelolah lingkungan dan sumber daya alam," kata Direktuf Eksekutif Walhi Sumbar, Khalid Saifullah di Padang, Selasa.
Walhi wilayah Sumbar, pada peringatan hari bumi Internasional 2010 mengangkat tema, "Dengan Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup berupaya selamatkan Sumbar dari bencana ekologis".
Menurut Khalid, sekitar 60 persen lebih wilayah Sumbar dengan kemiringan 40 derajat, artinya kemiringan di atas itu kerentanannya sangat tinggi.
Ketika kondisi ini tidak dikelola dengan benar dan serius, tentu ke depan Sumbar akan `panen` bencana ekologis. Bahkan, sejak setahun terakhir sudah mulai bencana ekologis (banjir, longsor) dan intensitasnya sudah makin tinggi.
"Ke depan kalau tidak hati-hati jelas intensitas bencana ekologis menghamtam wilayah Sumbar semakin tinggi lagi," ujarnya.
Lebih lanjut Khalid menilai, kian menurun kemampuan daya dukung lahan di Sumbar, terkait selama ini masih berpikir ego sektoral dalam pengurusannya.
Selain itu, kurangnya kontrol dan lemahnya pengawasan, dan kemudian ada kebijakan belum melihat prospektif kerentanan wilayah Sumbar.
Misalnya, bicara masalah kayu pascagempa Sumbar membutuhkan cukup banyak untuk pembangunan perumahan dan sarana publik, sementara pasokan kayu tak jelas.
Jika dikatakan dari Hak Penguasaan Hutan (HPH), kata Khalid, hanya ada dua di Sumbar, yakni di Solok Selatan dan Mentawai, tapi produksinya hampir 99 persen dikirim ke luar daerah.
Sementara dari mana pasokan untuk memenuhi kebutuhan kayu pascagempa Sumbar, makanya ini sangat dikhawatirkan salah satu akan mengancam hutan Sumbar, ketika tidak ada kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan kayu olahan tersebut.
"Kalau tak ada kebijakan yang jelas untuk pemenuhan kebutuhan kayu. Bisa dipastikan Sumbar 10-15 tahun mendatang akan terus dihantam bencana ekologis," katanya memperkirakan.
Menyinggung ada ketentuan boleh mengambil kawasan hutan rakyat (tanah ulayat, red) dibuktikan dengan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Kayu, Khalid menanggapi, benar ada SKAU tetapi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan kayu di Sumbar pascagempa.
Kayu yang berada dalam kawasan hutan rakyat atau hutan hak milik tersebut, diketahui ukuran kayunya hanya 50 diameter ke bawah, artinya paling maksimal bisa mendapatkan kayu dari ukuran 50 diameter ke bawah sekitar 1-1,5 meter kubik/pohon.
Jadi, menurut Khalid, untuk memenuhi kebutuhan kayu olahan Sumbar, tak cukup dengan mengandalkan SKAU, apalagi kualitas kayu rendah dan tak bisa untuk dijadikan material bangunan.
Kondisi ini, tentu rawan akan aksi penebangan liar karena tak ada kebijakan yang untuk pemenuhan kebutuhan kayu pasca bencana.
"Aksi penebangan liar, dampaknya bukan setahun atau dua tahun setelah dilakukan, tapi hitungan beberapa tahun kemudian," ujarnya. (SA/K004)
"Bencana ekologis terjadi disebabkan salah urus, salah kebijakan, salah kelolah lingkungan dan sumber daya alam," kata Direktuf Eksekutif Walhi Sumbar, Khalid Saifullah di Padang, Selasa.
Walhi wilayah Sumbar, pada peringatan hari bumi Internasional 2010 mengangkat tema, "Dengan Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup berupaya selamatkan Sumbar dari bencana ekologis".
Menurut Khalid, sekitar 60 persen lebih wilayah Sumbar dengan kemiringan 40 derajat, artinya kemiringan di atas itu kerentanannya sangat tinggi.
Ketika kondisi ini tidak dikelola dengan benar dan serius, tentu ke depan Sumbar akan `panen` bencana ekologis. Bahkan, sejak setahun terakhir sudah mulai bencana ekologis (banjir, longsor) dan intensitasnya sudah makin tinggi.
"Ke depan kalau tidak hati-hati jelas intensitas bencana ekologis menghamtam wilayah Sumbar semakin tinggi lagi," ujarnya.
Lebih lanjut Khalid menilai, kian menurun kemampuan daya dukung lahan di Sumbar, terkait selama ini masih berpikir ego sektoral dalam pengurusannya.
Selain itu, kurangnya kontrol dan lemahnya pengawasan, dan kemudian ada kebijakan belum melihat prospektif kerentanan wilayah Sumbar.
Misalnya, bicara masalah kayu pascagempa Sumbar membutuhkan cukup banyak untuk pembangunan perumahan dan sarana publik, sementara pasokan kayu tak jelas.
Jika dikatakan dari Hak Penguasaan Hutan (HPH), kata Khalid, hanya ada dua di Sumbar, yakni di Solok Selatan dan Mentawai, tapi produksinya hampir 99 persen dikirim ke luar daerah.
Sementara dari mana pasokan untuk memenuhi kebutuhan kayu pascagempa Sumbar, makanya ini sangat dikhawatirkan salah satu akan mengancam hutan Sumbar, ketika tidak ada kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan kayu olahan tersebut.
"Kalau tak ada kebijakan yang jelas untuk pemenuhan kebutuhan kayu. Bisa dipastikan Sumbar 10-15 tahun mendatang akan terus dihantam bencana ekologis," katanya memperkirakan.
Menyinggung ada ketentuan boleh mengambil kawasan hutan rakyat (tanah ulayat, red) dibuktikan dengan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Kayu, Khalid menanggapi, benar ada SKAU tetapi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan kayu di Sumbar pascagempa.
Kayu yang berada dalam kawasan hutan rakyat atau hutan hak milik tersebut, diketahui ukuran kayunya hanya 50 diameter ke bawah, artinya paling maksimal bisa mendapatkan kayu dari ukuran 50 diameter ke bawah sekitar 1-1,5 meter kubik/pohon.
Jadi, menurut Khalid, untuk memenuhi kebutuhan kayu olahan Sumbar, tak cukup dengan mengandalkan SKAU, apalagi kualitas kayu rendah dan tak bisa untuk dijadikan material bangunan.
Kondisi ini, tentu rawan akan aksi penebangan liar karena tak ada kebijakan yang untuk pemenuhan kebutuhan kayu pasca bencana.
"Aksi penebangan liar, dampaknya bukan setahun atau dua tahun setelah dilakukan, tapi hitungan beberapa tahun kemudian," ujarnya. (SA/K004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar