Padang, Kompas - Rencana pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, mengancam Taman Nasional Siberut dan keberadaan masyarakat setempat. Izin lokasi yang sudah dikeluarkan oleh Bupati Mentawai menuai protes dari masyarakat dan organisasi lingkungan.
Ketua Forum Mahasiswa Mentawai Daudi Silvanus Satoko di Padang, Minggu (27/6), mengatakan, pihaknya menolak tegas rencana itu. Sebab, pembukaan areal hutan yang diikuti dengan penanaman berpola monokultur dengan sendirinya merusak ekosistem. Apalagi, pengelolaan hutan dalam bentuk hak penguasaan hutan (HPH) dialihkan kepada sejumlah perusahaan.
”Dikhawatirkan hal itu hanya menguntungkan sekelompok orang,” kata Daudi.
Seperti diberitakan sebelumnya, tahun 2008, Kementerian Kehutanan telanjur mengeluarkan izin hak pemanfaatan hutan di kawasan cagar biosfer Siberut Utara kepada PT Salaki Summa Sejahtera.
Pemberian izin HPH itu membuat sebagian besar warga kehilangan sebagian besar hutan mereka. Padahal, sebagian besar warga Mentawai hidup dari hasil hutan.
Menurut Daudi, pembukaan lahan untuk sawit juga menyulitkan warga mendapatkan bahan baku untuk pembangunan rumah yang lazim disebut uma. Keberadaan uma jadi terancam punah karena makin mahalnya biaya memperoleh kayu. Padahal, uma adalah pusaran inti kebudayaan Mentawai dengan sistem kepercayaan bernama Arat Sabulungan.
Jika perkebunan sawit dibuka dalam skala sangat besar, bukan tidak mungkin seluruh kebudayaan Mentawai juga ikut punah. Itu belum terhitung keanekaragaman hayati yang terancam musnah.
Konflik tanah
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Vino Oktavia menambahkan, sejumlah elemen organisasi di Sumbar, termasuk LBH Padang dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar, telah sepakat menolak rencana pembukaan kebun kelapa sawit di Kepulauan Mentawai.
”Hal itu akan berdampak pada kehidupan masyarakat dan akan menimbulkan bencana serta konflik tanah adat,” kata Vino.
Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Judas Sabaggalet mengakui terbitnya izin untuk pembukaan perkebunan sawit di Pulau Siberut, Pulau Sipora, dan Pulau Pagai Utara. Izin tersebut mencakup 40.000 hektar di Pulau Siberut, 15.000 hektar di Pulau Sipora, dan 15.000 hektar di Pulau Pagai Utara.
Ia menegaskan, pembukaan lahan sawit bertujuan meningkatkan taraf perekonomian masyarakat.
Namun, Judas tidak menampik bahwa dengan struktur sosial masyarakat di Kepulauan Mentawai yang kebanyakan masih belum berpendidikan memadai, warga setempat belum serta- merta beroleh manfaat dari rencana itu. Dari sekitar 72.000 total penduduk di Kepulauan Mentawai, hanya sekitar 30 persen yang berpendidikan setara SD.
Yan Winnen Sipayung, anggota Komisi C DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai, mengatakan, sebagian wilayah perkebunan sawit itu kemungkinan besar juga mencakup Taman Nasional Siberut.
Kepala Taman Nasional Siberut Jusman mengatakan, hal itu tidak mungkin dilakukan secara resmi sekalipun tetap saja dimungkinkan dengan sembunyi- sembunyi.
Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Khalid Saifullah mengatakan, Kepulauan Mentawai tidak cocok ditanami kelapa sawit mengingat karakteristik pulau itu yang sangat rentan terhadap pemanfaatan air. (INK)
Ketua Forum Mahasiswa Mentawai Daudi Silvanus Satoko di Padang, Minggu (27/6), mengatakan, pihaknya menolak tegas rencana itu. Sebab, pembukaan areal hutan yang diikuti dengan penanaman berpola monokultur dengan sendirinya merusak ekosistem. Apalagi, pengelolaan hutan dalam bentuk hak penguasaan hutan (HPH) dialihkan kepada sejumlah perusahaan.
”Dikhawatirkan hal itu hanya menguntungkan sekelompok orang,” kata Daudi.
Seperti diberitakan sebelumnya, tahun 2008, Kementerian Kehutanan telanjur mengeluarkan izin hak pemanfaatan hutan di kawasan cagar biosfer Siberut Utara kepada PT Salaki Summa Sejahtera.
Pemberian izin HPH itu membuat sebagian besar warga kehilangan sebagian besar hutan mereka. Padahal, sebagian besar warga Mentawai hidup dari hasil hutan.
Menurut Daudi, pembukaan lahan untuk sawit juga menyulitkan warga mendapatkan bahan baku untuk pembangunan rumah yang lazim disebut uma. Keberadaan uma jadi terancam punah karena makin mahalnya biaya memperoleh kayu. Padahal, uma adalah pusaran inti kebudayaan Mentawai dengan sistem kepercayaan bernama Arat Sabulungan.
Jika perkebunan sawit dibuka dalam skala sangat besar, bukan tidak mungkin seluruh kebudayaan Mentawai juga ikut punah. Itu belum terhitung keanekaragaman hayati yang terancam musnah.
Konflik tanah
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Vino Oktavia menambahkan, sejumlah elemen organisasi di Sumbar, termasuk LBH Padang dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar, telah sepakat menolak rencana pembukaan kebun kelapa sawit di Kepulauan Mentawai.
”Hal itu akan berdampak pada kehidupan masyarakat dan akan menimbulkan bencana serta konflik tanah adat,” kata Vino.
Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Judas Sabaggalet mengakui terbitnya izin untuk pembukaan perkebunan sawit di Pulau Siberut, Pulau Sipora, dan Pulau Pagai Utara. Izin tersebut mencakup 40.000 hektar di Pulau Siberut, 15.000 hektar di Pulau Sipora, dan 15.000 hektar di Pulau Pagai Utara.
Ia menegaskan, pembukaan lahan sawit bertujuan meningkatkan taraf perekonomian masyarakat.
Namun, Judas tidak menampik bahwa dengan struktur sosial masyarakat di Kepulauan Mentawai yang kebanyakan masih belum berpendidikan memadai, warga setempat belum serta- merta beroleh manfaat dari rencana itu. Dari sekitar 72.000 total penduduk di Kepulauan Mentawai, hanya sekitar 30 persen yang berpendidikan setara SD.
Yan Winnen Sipayung, anggota Komisi C DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai, mengatakan, sebagian wilayah perkebunan sawit itu kemungkinan besar juga mencakup Taman Nasional Siberut.
Kepala Taman Nasional Siberut Jusman mengatakan, hal itu tidak mungkin dilakukan secara resmi sekalipun tetap saja dimungkinkan dengan sembunyi- sembunyi.
Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Khalid Saifullah mengatakan, Kepulauan Mentawai tidak cocok ditanami kelapa sawit mengingat karakteristik pulau itu yang sangat rentan terhadap pemanfaatan air. (INK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar